Pura Taman Pecampuhan Sala, Perpaduan Eksotisme Alam dan Daya Magis yang Sempurna
- admin
- Sep 14, 2021
- 4 min read
Updated: Sep 15, 2021

Pura Taman Pecampuhan Sala berlokasi di Desa Adat Sala, Desa Abuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Jarak tempuh dari Kota Denpasar sekitar 1 jam dan dari Kota Bangli sekitar 15 menit. Eksotisme bentang alam dan mistisnya kawasan pura akan memberikan pengalaman spiritual baru bagi mereka malukat di sini.
Awalnya, keberadaan Pura Taman Pecampuhan Sala tak banyak dikenal masyarakat. Hanya sebagian warga setempat dan orang-orang tertentu dari luar Desa Adat Sala saja yang mengetahuinya. Mengingat banyaknya cerita mistis yang melingkupi pura ini, termasuk khasiat masing-masing tirta di tiap lokasi pangelukatan, perlahan namun pasti, semakin banyak umat yang tangkil ke Pura Taman Pecampuhan Sala.
Dari penuturan Bendesa Adat Sala Ketut Kayana kepada Bali Bercerita, tidak ada yang tahu pasti sejak kapan kawasan suci di Sala itu berdiri. Warga hanya tahu tempat malukat ini sudah ada sejak zaman dahulu. Terbukti dengan adanya beberapa peninggalan, termasuk Batu Lingga yang diyakini sebagai peninggalan peradaban kuno. Meski sudah ada sejak lama, namun keberadaan pura sempat terlupakan.
Dituntun oleh kekuatan positif secara niskala, pihaknya kemudian berinisiatif menata kembali kawasan malukat yang terlupakan tersebut. Tujuannya tiada lain membantu umat untuk membersihkan kekotoran batin akibat degradasi kesucian di zaman Kali Yuga.
Bak gayung bersambut, rencana para paduluan disambut antusiasme warga. Perbaikan dan pembangunan sejumlah fasilitas penunjang pun dilakukan secara gotong royong pada tahun 2017. Kala itu, pembangunan difokuskan di jaba sisi pura yang merupakan tempat malukat. Di awal, proses penataannya tertatih-tatih. Namun menariknya, di tengah belum tertatanya kawasan tersebut, pamedek justru sudah banyak berdatangan. Sementara untuk pura utamanya sendiri, dahulu posisinya lebih rendah ketimbang yang ada saat ini. Pada tahun 2005, pura “diangkat”, dibangun di lokasi lebih tinggi agar tak rawan longsor. Saat itu, dana pembangunan didukung penuh Pemkab Bangli.
Prosesi malukat di pura ini relatif panjang, memakan waktu sekitar 1,5 jam. Belasan tempat malukat akan menjadi destinasi bagi pamedek. Tahap pertama, matur piuning di depan kompleks pancuran di pura tersebut. Kemudian, pamedek ganti pakaian untuk malukat karena dipastikan pamedek akan basah kuyup. Bagi pamedek yang kali pertama tangkil diharapkan membawa sarana berupa dua pejati untuk dihaturkan di kawasan utama malukat dan di jeroan pura. Pamedek juga perlu membawa canang cukup banyak untuk dihaturkan di tiap-tiap lokasi malukat. Pamedek juga mesti berhati-hati, sebab meskipun pemandangannya memanjakan mata, namun untuk menyusuri alur sungai penuh bebatuan tersebut tentu perlu tenaga dan kewaspadaan ekstra. Bagi yang suka memotret dan selfie, di sepanjang sungai dengan tebing tinggi dan air terjunnya ini bisa jadi lokasi foto yang sempurna.
Lokasi malukat pertama berupa campuhan atau pertemuan arus sejumlah sungai, yang dalam hal ini ada dua sungai (dwi weni). Di campuhan inilah konon para roh suci dan para dewa kerap berkunjung sehingga mampu memancarkan vibrasi kesucian. Pamedek menghaturkan canang dan bersembahyang dengan mencakupkan tangan di palinggih di pecampuhan sebelum malukat. Di campuhan juga terdapat Palinggih Ayengan Batara Baruna.
Perjalanan menyusuri sungai dilanjutkan ke utara menuju air terjun yang dinamai Grojogan Pasiraman Dedari. Di sana terdapat lubang cukup besar yang terkadang dangkal, kadang dalam. Pamedek diharapkan berhati-hati karena medannya cukup sulit. Menurut Ketut Kayana, sejumlah pamedek mengaku pernah melihat sosok bidadari dan naga di kawasan ini.
Dari sana, pamedek putar balik menuju aliran sungai di arah barat. Di sepanjang alur sungai menuju Pasraman Tan Hana inilah konon terdapat komunitas tak kasat mata. Pamedek, termasuk tim Bali Bercerita pun diingatkan agar tidak berpikir atau mengeluarkan kata-kata tidak baik atau tidak senonoh. Tak hanya itu, pamedek jangan coba-coba mengambil sesuatu baik berupa batu, kayu dan sebagainya di kawasan ini. Mengambil suatu benda di kawasan ini merupakan hal terlarang. Sudah ada bukti beberapa pamedek yang merasakan dampak buruknya, sehingga mereka harus kembali ke pura ini untuk meminta maaf.
Setelah berjalan beberapa saat, tibalah pamedek di Pancuran Tirta Prapen. Di pancuran yang relatif kecil ini pamedek terlebih dahulu malukat. Kurang lebih 7 meter, terdapat Batu Lingga. Pamedek sembahyang dan sujud di batu tersebut. Batu ini berukuran besar. Hanya ditopang beberapa batu kecil, batu ini kokoh berdiri di dataran yang lebih tinggi dibanding bibir sungai. Di dasar Batu Lingga terdapat cekungan yang berukuran kira-kira cukup untuk tempat seseorang duduk di dalamnya, namun dalam posisi yoga rare jeroning garba atau seperti anak dalam kandungan. Posisi yoga ini sangat sulit dilakukan. Cukup banyak pasangan suami-istri yang memohon keturunan di sini dan berhasil. Bahkan ada warga negara asing yang pernah membuktikannya. Selain dianggap suci, Batu Lingga ini sekaligus menunjukkan sepanjang kawasan Pura Taman Pecampuhan Sala merupakan peninggalan peradaban kuno.
Dari kawasan Batu Lingga, pamedek kembali mengarah ke sebuah grojogan atau air terjun untuk malukat. Tuntas di tempat itu, pamedek akan menuju Pasraman Tan Hana. Medannya cukup sulit, karena pamedek harus memanjat bebatuan sungai dengan ketinggian sekitar 2 meter dan memasuki Goa Song. Disebut demikian, karena ukurannya tidak besar untuk disebut goa, namun tidaklah terlalu kecil untuk hanya disebut song (lubang). Ke luar dari goa kecil inilah pamedek akan menemukan kawasan suci yang disebut Pasraman Tan Hana. Pasraman ini tidak dapat dilihat secara kasat mata. Di sini terdapat Pancoran Tirta Pule dan Gerojogan Pasraman Tan Hana. Di gerojogan atau air terjun ini selain malukat, pamedek juga diharapkan mengitari batu besar di bawah air terjun itu sebanyak tiga kali.
Dari Pasraman Tan Hana, pamedek kembali ke arah pura menuju kawasan pancuran utama. Di kawasan ini, pamedek menuju Pancoran Tirta Bolakan dan Pancoran Tirta Taman. Dipercaya tirta pancuran bisa menyembuhkan beragam penyakit medis. Pamedek kemudian menuju kawasan pancuran di atasnya. Di sebelah kanan terdapat Pancoran Tirta Bungbung. Tirta ini dipercaya untuk melebur permasalahan ekonomi. Pamedek yang biasanya nunas tirta di sini adalah para pedagang. Kemudian di sebelah utaranya terdapat Pancoran Tirta Taman. Permohonan biasanya terkait ipian ala atau mimpi buruk. Berikutnya Pancoran Tirta Tulak Wali. Tirta di pancuran ini yang biasanya banyak dicari, karena untuk menghilangkan black magic.
Kemudian pamedek menuju pancuran berikutnya yakni Pancoran Tirta Utama. Sumber airnya berasal dari Goa Naga Raja. Tirta di Pancoran Tirta Utama adalah untuk memohon kerahayuan dan keselamatan jagat. Setelah tuntas, pamedek diminta berganti pakaian dan nunas tirta wangsuhpada, serta menuju jeroan Pura Taman Pecampuhan Sala untuk melakukan persembahyangan. *Bali Bercerita
Comments